Rabu, 13 Oktober 2010

ROKOK “KONCO AREK” INDIVIDUALISME ???


ROKOK “KONCO AREK” INDIVIDUALISME ???

Penulis: Rehan Aufa Fakhri

Yakinlah, semua orang akan mati, tapi saya memilih tidak menghiasi kematian saya dengan paru yang busuk, kanker di kerongkongan, orang tua yang meratapi makam anaknya tercinta, atau penderitaan keluarga saya akibat mengurus dan membiayai saya di rumah sakit karena sakit kronis yang disebabkan oleh rokok.



Berapa banyak batang rokok yang telah kita hisap yang akan merusak jantung kita? Jawabannya, cukup satu batang saja. Banyak alasan orang merokok. Ada yang hanya karena gengsi, gaya hidup, iseng, atau hanya ingin terlihat macho dan gaul. Efek dari rokok dapat dirasakan secara psikologis yang dapat langsung dirasakan. Perasaan terlihat lebih macho, lebih percaya diri, lebih tenang, dan efek-efek menyenangkan lainnya. Namun selain efek tersebut, ada efek lain yang pelan-pelan menyusup di balik tubuh. Seringkali demi pergaulan orang yang tidak merokok ikut-ikutan menghisap rokok walau hanya satu batang. “Ndak ba’a do kan lai sabatangnyo” begitu alasan yang sering didengar.



Sebatang rokok tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan si perokok, tapi juga orang-orang di sekeliling perokok yang terkadang harus “rela” menjadi “perokok” (perokok pasif) karena sifat individualis yang dipamerkan oleh sabagian perokok. Namun lebih luas lagi, rokok telah merubah pola pikir dan mendorong masyarakat menjadi masyarakat yang individualis. Tengok saja, ketika kita sedang menggunakan transportasi umum, mengunjungi warung kopi, swalayan dan hampir semua tempat umum tidak luput dari asap rokok yang bergentayangan mencari mangsa. Ini membuktikan, sikap individualis atau lebih mementingkan kepuasan pribadi tanpa menghiraukan dampaknya terhadap orang lain.

Hak seseorang yang tidak merokok mulai dari bayi yang baru lahir, anak-anak, wanita, laki-laki dan orang tua, untuk memperoleh udara segar dan sehat diinjak-injak akibat asap rokok yang mudah ditemui ditempat-tempat umum. Bukankah ini kedzaliman yang nyata? Semua pihak harus ikut bertanggung jawab dalam hal ini, mulai dari orang tua, guru, tukang becak sampai pejabat harus menunjukan citra positif dan melarang kepada anak-anak untuk menegaskan jika itu adalah aib dan perilaku jahat karena merusak diri dan orang lain. Jika hal ini tidak dilakukan maka dikhawatirkan mereka kelak akan menjadi korban individualisme si perokok. Perokok sebaiknya menghindari merokok di depan anak-anak, karena sifat anak-anak yang paling pintar meniru hal-hal baru yang belum pernah dicobanya. Pemerintah harus memiliki tanggung jawab penuh dalam hal ini karena menyangkut kualitas asset daerah yakni anak-anak generasi penerus bangsa yang sangat butuh teladan yang baik dari masyarakat.

Sosialisasi anti narkoba tak akan mengurangi jumlah pengguna narkoba selama pemerintah masih selalu beranggapan dengan bertumpu kepada pajak rokok dan menghalalkan rokok. Sebuah sumber menyebutkan bahwa negara-negara maju memiliki konsern yang tinggi terhadap kesehatan khususnya rokok. Negara-negara maju sudah meninggalkan rokok dan enggan menerima pekerja yang perokok, sementara kita masih berkutat dan menghamba kepada rokok, artinya negara atau bangsa-bangsa tertinggal sangat sedikit perhatiannya terhadap masalah rokok. Akhirnya, semua lapisan masyarakat harus turut berperan serta dalam memerangi segala sifat-sifat mementingkan diri sendiri tanpa ada rasa empati terhadap orang lain yang dapat ditimbulkan oleh berbagai macam media khususnya rokok demi mewujudkan generasi penerus bangsa yang bebas dari ketergantungan narkoba jenis rokok dan masyarakat yang lebih sehat. Rokok sebagai tumpu perekonomian

Di kalangan banyak orang, muncul pendapat bahwa “industry rokok memberikan kontribusi pemasukan negara dengan jumlah besar” namun pada kenyataannya negara membayar biaya lebih besar untuk rokok dibanding dengan pemasukan yang diterimanya dari industri rokok karena rokok merupakan kerugian mutlak bagi hampir seluruh negara. Pemasukan yang diterima negara dari industri rokok (pajak dan sebagainya) mungkin saja berjumlah besar, tapi kerugian langsung dan tidak langsung yang disebabkan konsumsi rokok jauh lebih besar karena biaya yang ditanggung pemerintah dalam mengobati jumlah pasien yang terkena rokok sebenarnya jauh lebih besar.

Biaya tinggi yang harus dikeluarkan untuk membayar biaya penyembuhan penyakit yang disebabkan oleh rokok, absen dari kerja, hilangnya produktifitas dan pemasukan, kematian prematur, dan juga membuat orang menjadi miskin lebih lama karena mereka menghabiskan uangnya untuk membeli rokok.

Biaya besar lainnya yang tidak mudah untuk dijabarkan termasuk berkurangnya kualitas hidup para perokok dan mereka yang menjadi perokok pasif. Selain itu, penderitaan bagi mereka yang harus kehilangan orang yang dicintainya karena rokok. Semua ini merupakan biaya tinggi yang harus ditanggung. Gerakan warung anti rokok

Diperkirakan, 900 juta (84%) perokok sedunia hidup di negara-negara berkembang atau transisi ekonomi termasuk di Indonesia. The Tobacco Atlas mencatat, lebih dari 10 juta batang rokok diisap tiap menit, tiap hari, di seluruh dunia oleh satu miliar laki-laki dan 250 juta perempuan. Sebanyak 50% total konsumsi rokok dunia dimiliki China, Amerika Serikat, Rusia, Jepang dan Indonesia. Bila kondisi ini berlanjut, jumlah total rokok yang dihisap tiap tahun adalah 9.000 triliun rokok pada tahun 2025.

Jika kita cermati, para perokok pada umumnya adalah para kalangan menengah ke bawah yang membeli rokok perbatang atau paling banyak sebungkus. Dan mereka pada umumnya membeli rokok pada warung-warung terdekat.

Andai saja pemerintah menetapkan peraturan tegas mengenai warung-warung yang menjual rokok. Maka akan banyak memberi dampak positif.

Tidak ada komentar: